ShoutMix chat widget

Mau dapat duit?
Daftar aja disini--> Free sign up

Lupa Masa


.

Telah lupa tanggal..
Kapan tercatat kataku di atas kertas?
ku lupa menulis masa
Kapan kali terakhir kenangku cacat?
ku lupa menulis masa..
Lupa menulis waktu
Lupa menulis tanggal
Lupa menulis bulan
Lupa menulis tahun,
Lupa adalah kepikunan
sampah tiada berguna menjejal otak
Kapan kali terakhir ku bahagia?
Kau kah itu, pencuri bahagiaku?

Sabda Keheningan


.

Keheningan Memanggil


Mula-mula gelap kamar dijelmakan keruh cahaya
ujung arloji waktu, sepersekian detik membeku
adakah lantun tembang di setiap sudutnya?
adakah dongeng aksara jawa pada biliknya?

Pintu kamar sedikit terbuka
mata mengintip tanpa kedip
maka, ku kutip tentang hampa ruang
di cahaya remang

keheningan memanggil...


Sang Pembenci


Jika boleh memilih
akan ku biarkan raga terjebak dalam pusaran masa
sedangkan ruhku, lepas mengambang pada lingkar waktu lain

ada pembenci raga dan ruhku...


Kepasrahan Diam dalam Keramaian


Selaksa waktu,
ku hayati arti tentang kepasrahan sunyi dari batas lanskap malioboro
dimana kubayangkan sejengkal tanahnya menjelma sepi
dimana prahara tentang rupa mengabur lenyap dalam hening

Aku hanya berimaji...
tentunya jalan ini tak kanlah sepi dari caci
dan makian yang tercecap pahit dari asingnya wajah
tunduk dan takluk
ibarat keramaiannya telah dikutuk
manusia saling bercakap,
berbaur dalam satu lingkup lengkap

dimana bisa ku temukan sudut sunyi malioboro?

ini yang kunamakan sebagai kepasrahan diam dalam keramaian.....


Inilah Hujan


Kutangkupkan kedua tangan
seraya berbisik, "inilah hujan.."
tetesannya membentuk tirai kesejukan
alunkan kabut selimuti malam
Lelapkan sang bulan sejenak
dengan balutan mendung pada gelapnya

Kubahasakan perkara tentang hujan,
gerimis dan kabut tipis
kemudian... tersusun tanya padanya
"adakah pelangi malam, bias warna dari jelmaan kelam?"



Peziarah Masa


.

Barangkali muasal hujan telah patahkan kemarau
karena rekahan tanah yang tadinya berteriak parau
mulai terdiam, basah

Aku tengah mengingatnya
ketika derak roda kayu, terdengar berontak
tak hanya menyentak
dan cerita terakhir dalam lelahnya malam
menjejali otakku

rantau...
dimanakah keberadaan bayang masa lampau?
ia yang menziarahi masa sebelum gelap
sedang yang ia perbuat hanya menungguku hingga terlelap

Aku tengah mengingatnya...
ketika ku persilahkan topeng itu menyentuh wajahku
maka, berdesirlah gumaman badai
"keagungan hanya milik Tuhan"
dan antara perbatasan lanskap kemerahan,
telah menawan igauan senja

Barangkali keberadaan bayang masa lampau
serta kemurungan hari
menyertakan hitungan ganjil
di persimpangan waktu
Aku tengah mengingatnya...
kata yang menggaung dalam urat,
telah sekarat
setelahnya perubahan masa menyeretku pada tetesan muara
ia lah yang berceceran di dasar kali - kisah
maka, berbisiklah mendung
"pungutlah! Jangan biarkan masa melumatnya!"

Ingatanku terbingkai...
tak kan lagi ku tanyakan siluet tentang masa
bukan pula tentang wajah di balik topeng
atau lelaku pilu
ia lah yang telah tereja pada muasal musim gugur

Kekal, Jika Semestinya Terjadi


.

Tafsir : Tentang Resah Cuaca

Umpama yang terlepas dari perangkap waktu
memunggungi ku dan mulai membeku..
akankah cermin di depan ku
berdebam keras menyingkirkan kekakuan itu?

Pada hari ke empat setelah purnama
tak kunjung ku dapatkan kabar
tentang kau yang menyimpan warna di lima kota
apakah tafsir ku yang membebanimu?
Pun yang ku katakan masih tetap sama :
tentang resah cuaca

"Tiap hujan memiliki makna
seperti halnya petang,
yang menggelap jika lelah menghinggap"

Umpama cermin yang tadinya berdebam,
kemudian terganti dengan suara pecahnya
akankah percakapan kikuk antara kita
tersingkir dari pandang mata?

Seandainya tidak,,
maka batas sajak ku yang akan mengakhirinya..


Kata di Antara Malam

1

Sebelum jingga berubah menjadi hitam
maka ia simpankan cinta itu dalam sekam
agar kabut tak membawanya kembali pada kelam

-- bukankah ia yang mengkhianatinya?
Lantas ia pula yang melindunginya..
jika sampai aku pada masa itu
maka kukuhlah aku pada pendirianku


2

Sebelum rintihan itu menjelma menjadi teriakkan - menggema
maka cinta itu tetaplah milikku
sebab risalah itu masih ada padaku
kemudian kan ku biarkan angin membawanya pulang dari balik layar
agar ia bisa menikmati senja..


Sebab Kisah

Sebelum kisah itu sampai ke telinga
hilanglah ia karena angin
sebab ia terlalu berharga untuk mereka yang mencoreng sejarah

*tentang kisah*

sang penyair berkata kepada puisinya
tentang cinta dan kegelisahannya
"jika cintaku berubah menjadi rindu
akankah yang kurindu menyadarinya?
akankah yang kucinta menyangsikannya?"
sebab ia menulis,
bukan sekedar mengharap balasan
tetapi, karena ia tak sanggup mengungkapkannya

Memang mudah, meneriakkan isi hati dalam belanga hampa
sebab gemanya takkan sampai memekikkan telinga
namun, takkan mudah menyingkap isi hati yg telah lama tertanam
sebab yang kau maksud berada di hadapmu

Jika aku adalah sang penyair itu,,
maka biarlah rasa ini ada sewajarnya
biarlah hanya aku dan puisiku yang akan menjaganya
sampai api di jiwa menelannya mentah mentah


Kisah Hari

Dari-NYA..
yg menyuLam embun dgn rapi
menyeLimuti dunia tanpa aLing-aLing
mengistirahatkan tubuh rapuh sang imaji

Dari-NYA..
yg membangunkan matahari
membiaskan sinarnya ke dasar kaLi
menegakkan sang imaji dari cakrawaLa mimpi

Dari-NYA..
yg menyenjakan hari
hingga gurat merah tersimpuL Lagi
kemudian,, memungut cerita hari
daLam permainan teka-teki

Dari-NYA..
yg menutupi Langit sunyi
menyisakan maghrib di peLantaran masjid
meraibkan sinar terang sepanjang hari

Dari-NYA..
yg membatasi harapan dgn garis
menyembeLih cinta duniawi
dan menyadarkan bahwa kefanaan bumi tak abadi

Dari-Nya
DIA puLa Lah
yg mematrikan senyum kematian
untuk sang imaji
yg senantiasa menegakkan tubuh rapuhnya
hanya untuk memadu kasih kpd Tuhannya
di sepertiga maLam trakirnya...



ASAP DOA


.

Mata anak laki-laki itu terbelalak. Ia terbangun, setelah dirasa cukup memberi waktu tubuhnya yang kurus untuk beristirahat. "Ahh! Aku bangun kesiangan!” gerutunya. Padahal, jam masih menunjukkan pukul 4 pagi. Waktu yang tepat bagi sebagian besar orang untuk kembali terlelap di peraduannya. Adzan subuh pun tak jarang mereka dengarkan. Dan ketika mereka terbangun, MASYA ALLAH!! Fajar mulai beranjak ke atas langit.

“Harusnya aku bangun lebih awal! Malasnya aku ini...”, gumamnya sembari mengambil sebuah tomblok. Bajunya tampak kotor, bahkan ada sobekan besar di bagian punggungnya. Celana yang dipakainya kemarin, masih ia kenakan untuk hari ini dan hari berikutnya. Ia mengambil buntelan plastik yang ada di atas meja kamarnya. Kemudian, ia masukkan buntelan plastik itu ke dalam tombloknya. Buntelan plastik itu selalu ia persiapkan ketika ia akan tidur agar paginya ia tidak terburu-buru mempersiapkannya.

Ia bergegas. Sandal lusuhnya selalu menemani langkahnya kemanapun ia pergi. Maklum saja, hanya sandal lusuh itu yang ia punya. Untuk membeli sepasang sandal seharga 4.500 rupiah saja, ia harus berpikir dua kali. Lebih baik uang itu digunakannya membeli nasi dan sayur untuk makan ke dua adiknya.

Ahmad namanya. Ibunya meninggal selang beberapa bulan setelah kelahiran adik bungsunya. Sedangkan ayahnya, kawin lagi dan pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Ahmad menjadi tulang punggung keluarga untuk mencukupi hidup ke dua adiknya. Anak berumur 13 tahun itupun harus merasakan pahitnya hidup tanpa didampingi ke dua orang tuanya.

***

Jalanan masih berkabut, dingin tak terkira. Embun melapisi dedaunan. Rerumputan rebah, menutupi rekahan tanah yang tak tahu darimana muasal rekahan itu. Dari beberapa rumah, lampu dapur 5 watt menyala remang-remang. Tampak asap pembakaran dari tungku desa menggumpal keluar dari celah-celah kecil dinding bambu. Perkampungan kumuh, tempatnya orang-orang tak beruang berkumpul.

Berbeda dengan perumahan elit yang pastinya para penghuninya sedang disibukkan dengan mimpinya. Kemudian mereka akan terbangun dan yang mereka ingat adalah uang dan harta mereka yang melimpah.

Ahmad tersenyum tipis. Kali ini ia berdiri di depan tempat pembuangan akhir (TPA). Perjalanan singkat dari gubuknya ke tempat itu. Tempat yang telah dianggapnya kantor. Tempat yang akan menghasilkan uang untuk menyambung hidupnya. Ia berlari kecil menuju timbunan sampah dengan bau yang menusuk hidung. Di matanya, timbunan sampah itu adalah gunung emas. Semua barang-barang bekas dan rongsokan bisa ia dapatkan dengan gratis di sana. Kemudian, barang-barang dan rongsokan tersebut dapat ia jual kembali atau kalau ada barang bagus bisa ia miliki tanpa ada yang melarang. Seperti sandal lusuh yang ia pakai, ia dapatkan dari tempat itu. Karena semua itu hanyalah sampah.

Ahmad mulai mengais di tumpukan sampah. Botol-botol dan kaleng bekas ia punguti satu persatu. “Semoga hari ini aku dapat barang bagus,” katanya dalam hati. Ia terus mengais. Tak terasa, adzan subuh berkumandang dari mushola tak jauh dari tempat pembuangan tersebut. Ia berhenti sejenak. Kemudian ia meninggalkan tempat itu dan bergegas menuju mushola.

***

Mushola kecil itu terletak tak jauh dari tempat pembuangan akhir. Mushola kecil tapi tak pernah sepi oleh orang-orang yang ingin sholat berjamaah. Tentu saja hanya kalangan orang tak mampu saja yang mau singgah di sana. Bukankah orang-orang kaya sudah memiliki masjid yang megah dan besar? Tapi sayangnya, jarang sekali masjid itu penuh oleh jamaah.

Bau sampah masih melekat pada tubuh Ahmad. Malu rasanya ingin jumpa dengan Sang Pencipta dengan bau seperti itu. Ia pun bergegas ke kamar mandi. Tomblok penuh rongsokan itu ia tinggalkan di dekat mushola. Tak perlu cemas ia memikirkan tomblok itu. Toh, tak ada orang yang mau mencuri rongsokan.

Ia buka buntelan plastik yang ia bawa dari rumah. Di dalamnya terdapat kain sarung dan baju koko putih bersih pemberian almarhumah ibunya sebelum beliau meninggal. Pakaian itu selalu ia kenakan sebelum sholat. Hanya itu pakaian terbaik yang ia miliki. Selebihnya, hanya pakaian lusuh compang-camping yang ia punya.

3 menit lamanya waktu untuk mandi. Setidaknya, bau sampah yang tadinya menempel di badannya sudah hilang. Baju lusuhnya tadi telah ia tanggalkan sebentar, terganti dengan baju koko rapi dengan kain sarungnya. Kemudian, ia sholat berjamaah bersama dengan orang-orang miskin.

Alangkah bahagianya, ketika mereka tidaklah memikirkan derajat mereka ketika menyembah Rabb semesta alam. Karena semuanya sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanyalah iman mereka. Betapa manusia sering luput, menganggap pangkat dan derajatnya di dunia adalah beda. Sehingga yang tinggi pangkatnya selalu menghina dan mengekang orang-orang yang rendah pangkat dan derajatnya. Bukankah kita berpijak pada tanah yang sama? Astaghfirullah...

***

Sholat berjamaah telah usai. Satu persatu jamaah meninggalkan mushola itu. Tinggallah Ahmad yang duduk bersila di sana. Kedua tangan dan wajahnya menengadah. Ia berdoa. Lamat doanya terdengar :
“Ya Allah... ketika Engkau mendengar doaku, maka sampaikanlah rinduku untuk Rosulku. Sampaikanlah rinduku untuk ibuku.
Ya Allah... ketika Engkau dengar doaku, maka lindungilah aku dan ke dua adikku. Lindungilah ayahku. Bukalah mata hatinya agar ayahku kembali lagi pada kami.
Ya Allah.. ketika Engkau dengar doaku, maka hal yang ingin ku katakan adalah aku mencintai-Mu...”

Air matanya meleleh membasahi pipinya. Ketika itu pula, ketenangan ada pada dirinya. Ia percaya, Allah akan selalu mengabulkan doa hambanya yang mau berdoa dan berusaha.

Setelah itu, ia sambung harinya dan percaya bahwa suatu hari hidupnya akan berubah menjadi lebih baik.

SELESAI




Sebuah Blog Sebuah Cerita, kembali berkarya